Minggu, 18 Desember 2011

semacam pengalaman pribadi yang belum aku kasih judul


Belum DikasihJudul
Adalah malam ini. Tanggal duapuluh tujuh Oktober duaribu sebelas. Di jogjakarta. Malam yang aku merasa lapar sekali. Tentunya karena belum makan. Makan nasilah tentunya. Sebenarnya sudah, tapi kemarin terakhir. Terakhir kemarin. Juga haus. Tentu karena belum minum. Sebenarnya sudah, tapi sedikit dan aku rasa kurang. Minum-minumnya kurang. Karena tadi main futsal 2 jam. Tadi aku futsal. Capek dan haus, baru minum sedikit. Kurang minumnya. Tahu futsal? Semoga tahu. Kalau tidak tahu ya sudah, aku tak mau bercerita. Karena memang sedang tak ingin bercerita. Inilah malam. Malam Jum'at yang sebenarnya adalah Kamis malam. Tapi kenapa sering orang-orang menyebutnya malam Jum'at? Tanya saja pada mereka. Aku juga tak tahu jika harus dipaksa bercerita, karena aku memang tak mau bercerita. Juga jangan paksa aku bercerita tentang kenapa Kamis malam di sebutnya malam Jumat. Aku tak mau. Karena aku juga hanya ikut-ikutan menyebutnya malam Jum’at. Warisan leluhur saja mungkin, dengan menyebut Kamis malam sama dengan Malam Jum'at.  Sama seperti mereka. Mungkin. Sudah, tak usah berdebat tentang kenapa Kamis malam sama dengan Malam Jum'at. Biarkan menjadi tanda tanya bagi aku yang suka bertanya-tanya. Juga bagi kalian yang bertanya-tanya mengapa sempat-sempatnya otakku menanya-nanyakannya. Sudah. Aku lapar. Juga haus. Aku lapar dan haus.
“Ndong, sudah makan?” tanyaku.
Nama aslinya Fakhri. Tapi di panggil Bandong. Karena rumahnya di daerah Bandong. Bukan Bandung. Bandongan. Tidak ada di peta nasional. Apalagi peta di dunia. Adanya di peta kabupaten. Kabupaten Magelang. Itupun aku juga cuma menduga-duga. Masalah memang nyata benar ada atau tidaknya aku juga tak tahu. Karena aku juga belum pernah membuka peta kabupaten Magelang.
“Belum.” Jawabnya.
“Ayo makan.”
“Ayo.” jawabnya semangat.
“ Kemana?”
“ Terserah.”
Bersiap-siaplah kami. Aku awali perjalananku dari kontrakanku. Dengan seorang temanku tadi. Si Bandong. Berboncengan mencari makan dan minum. Ingat, temanku kali ini hanya seorang. Seorang yang tadi aku tanyai. Si Bandong. Jangan menambah-nambahi dengan kucing, anjing atau apa. Karena aku tak mengajak mereka. Tapi bila dengan sepeda motorku, dengan baju dan celanaku, juga dengan baju dan celana temanku, tak apa-apa, memang begitu kenyataannya. Tapi tidak dengan sepeda motor temanku. Karena sudah kubilang di awal tadi. Kita berboncengan memakai baju dan celana dengan naik sepeda motorku. Bukan sepeda motor temanku. Tapi sebenarnya itu sepeda motor bukan punyaku, punya ibuku karena yang membeli adalah ibuku, atas nama ibuku, di STNK dan BPKB juga adalah tertera nama ibuku, yang sudah terlalu sering aku pakai dan aku akui menjadi punyaku sehingga seolah-olah itu sudah menjadi hak milikku. Begitu jika aku bercerita pada teman, pacar, semut dan lain-lain. Begitu mungkin juga kalian, suka mengaku-akui sesuatu yang adalah sebenarnya punya ayahmu ataupun ibumu menjadi sesuatu yang menjaadi milikmu. Iya kan? Kelihatan senyummu dari sini, mengisyaratkan bahwa senyummu itu menandakan kamu meng-iyakan pernyataan yang aku nyatakan tadi. Semoga benar penyataaan yang aku nyatakan tadi. Jika salah ya sudah. Maklumi saja. Aku hanya menduga-duga. Semoga.
“ Makan apa jadinya Ndong? gudeg saja, ya?”.
            “ Ya. Lapaaaar .” jawab Bandong.
Berkelilinglah kita. Meluncur menuju ke warung gudeg. Di jalan Solo. Di Jogja. Ya, di Solo. Jalan Solo. Di Jogja. Dekat XXI. Tahu XXI? Smoga tahu. Kalau tidak tahu ya sudah. Datanglah kemari. Ke Jogja. Nanti langsung aku antarkan ke tempatnya saja. Jangan paksa aku menceritakan isinya. Aku juga belum pernah mersakannya dan melihat isinya. Di sanalah aku mencari warung. Warung gudeg yang di sebelah kanan jalan raya. Di trotoar jalan. Di atasnya. Depan toko cat apa itu namanya aku lupa. Tak penting juga aku ingat-ingat karena aku lapar. Harus makan. Bukan mengingat-ingat nama toko cat.
“Oooh, belum buka ndong arung gudegnya, mau makan apa jadinya Ndong?”
            “ Terserah.Lapaaar.” jawabnya.
Maju lagi. Melajulah dengan bersepeda  motor lagi. Kalau mundur gak bisa. Sepeda motor gak ada gear buat mundur. Kecuali keluaran produk dari Tossa. Rodanya 3. Dua di belakang. Satu di depan. Ada juga yang dua rodanya di depan. Dan satu di belakang. Becak namanya. Tahu becak? Semoga tahu. Kalau tidak tahu ya sudah. Jangan suruh aku bercerita tentang becak, aku tak mau bercerita. Beda lagi jika namanya Tigaroda. Itu semacam merk semen. Juga semacam merk obat nyamuk. Sudahlah. Tidak penting juga. Lalu majulah lagi. Meluncur dengan sepeda motor lagi. Teruuss. Sampai di perempatan Galeria belok kiri. Maju lagi. Teruus. Habis UKDW lurus lagi. Sampai rel belok kiri. Teruuus.
            “Itu bakso!” itu aku lihat warung bakso di kiri jalan tempat aku melintas.
Sambil ku tunjukkan satu jari telunjukku yang di tangan kiri ke arah situ. Ke warung yang ada tulisannya bakso. Sementara jari telunjukku yang di tangan kanan tidak. Aku pakai semua bersama jari-jari lainnya untuk menggenggam setang motor. Juga untuk menarik gas. Takut jatuh kalau aku pakai buat nunjuk semua.
            “ Waah, nanti gak kenyang. Makan yang ada lah di situ  pake nasi saja. kalo pake nasi kan di perut anteng.” Jawabnya.
“ Kalo kamu diam, kan perutmu anteng juga.”
“Hahaha.” ketawa dia. Aku yakin angin malam masuk ke mulutnya. Semoga kenyanglah dulu dia makan angin. Angin malam. Semoga. Tapi nyatanya tidak juga.
“Anteng “ adalah semacam kata yang berasal dari bahas Jawa yang berarti “tidak bergerak”, kalau untuk masalah yang di atas itu maksudnya biar perutnya jadi kenyang. Begitulah kurang lebihnya.
Maju lagi. Meluncur dengan sepeda motor lagi. Teruuuus. Lalu berhenti. Ada lampu apill menunjukkan warna merah. Segela sesuatu yang berasal dari arah kami berhenti. Motor dengan sopirnya, becak dengan sopirnya, sepeda dengan sopirnya, mobil dengan sopirnya, berhenti. Semuanya berhenti. Berhentilah semuanya. Kecuali semut yang tidak aku melihatnya sungguh-sungguh. Menunggu lampu apill menunjukkan warna hijau. Di bawahnya lampu apill bertuliskan “belok kiri ikuti lampu”. Jadi yang ke kiri juga harus ikut berhenti. Maka semua memang berhentilah. Apa itu lampu apill? Tahu tidak? Kalau tidak ya sudah. Aku malas menceritakannya.
Sesaat kemudian jadi hijaulah. Sekarang hijau sudah lampu apill itu. Kami maju lagi. Lalu belok kiri. Maju lagi. Teruuus. Berhenti. Ada palang pintu rel. Menghalangi laju jalan kami. Ada suara perempuan. Cerewet. Tapi tidaklah kami melihat orangnya. Bicara melulu dari tadi. Seperti orang ceramah. Pada intinya, ia ingin bicara kalau ada kereta mau lewat. Dan dilarang melintasi rel. Itu saja. Tapi bawelnya minta ampun. Mana gak ada wujudnya juga. Nunggu sebentar keretanya lewat. Itu dia. Sudah lewat sekarang. Palang pintu rel dinaikkan lagi. Kami menyeberangi rel kereta. Maju lagi. Teruuuus. Berhenti. Tapi balik arah ke arah Balai kota Yogyakata. Cari warung makan lagi yang semoga kami menemukan yang cocok.
“ Gimana ini Ndong. Makan dimanakah jadinya?”
“  Terserah. Jalan saja. Nanti ketemu.”
“ Okeee..”
Ketemulah warung yang di sana. Sudah kami pilih dengan ketetapan hati yang penuh. Pilihan kami jatuh pada itu warung. Karena memang sudah teramat sangat lapar sekali. Itulah warung yang adalah berada di kanan jalan dari arah kami melaju. Sehingga kami harus menyeberangi jalan raya. Sebenarnya warung ini tidak seperti yang kami inginkan sejak awal. Warung gudeg yang kami inginkan, tapi ini beda. Warung sambel ternyata. Waroeng SS namanya. Parkirlah kami di luar warung. Turunlah dari sepeda motor lalu masuklah kami. Cari tempat duduk. Melihat-lihat ke seluruh isi ruangan. Ada keramik. Ada ibu-ibu dengan anaknya. Ada kursi. ada gelas. Ada piring. Ada sandal. Ada meja. Ada lampu. Ada air. Ada orang. Ada cewek. Ada cowok. Ada paha. Ada pantat.  Ada yang makan-makan. Juga minum-minum. Juga merokok. Juga bercanda. Juga berdoa. Oh, akhirnya dapatlah itu tempat duduk. Tempat duduk yang tidak siapapun ada diatasnya mendudukinya. Kursi tentunya. Dua buah kursi dan satu meja yang di sana. Di depan kasir. Lalu duduklah kami di atasnya. Juga di belakangnya. Belakang meja yang jika di lihat dari arah mereka yang duduk di depan kami.
Langsung saja kami memandang pelayan. Tidak mengundangnya tapi hanya memandangnya. Lalu datanglah dia. Pelayan itu datang. Datanglah dia ke hadapan kami padahal tak diundang.
“Silakan mas. Ini menunya.” Sambut itu pelayan, sambil ia memberi lembaran kertas. Bentuknya pipih. Segi empat. Persegi panjang. Putih warnanya. Panjangnya ke bawah. Berapa sentimeter aku tidak tahu. Tidak aku ukur. Tidak bawa penggaris juga. Tidak penting juga. Karena aku lapar. Temanku juga.
“oh ya, terimakasih mbak.”
Pergilah itu pelayan menghampiri pelanggan lainnya. Tapi sebelum pergi tersenyumlah dia. Padahal kami tidak senyum. Memang harus begitukah pelayan kapada pelanggannya? Harus senyum-senyum sendiri pada pelanggan yang tidak mengajaknya tersenyum sama sekali.  Atau memang kami yang sudah terlalu serius dengan rasa lapar kami sehingga tidak terlalu mempedulikan sebuah senyuman dari seseorang yang mengjak kami tesenyum yang padahal katanya juga senyum itu adalah ibadah.
“ Pilihlah dulu Ndong menunya.mau makan apa terserah.”
“ Okeee.”
Lekas memilihlah itu si Bandong. Telur dadar dua. es teh dua. Sambal gobal -gabul satu. Sambal bawang satu. Nasi satu. Bukan satu biji, satu bakul maksudnya.
“Mas.”panggil si Bandong kepada pelayan. Cowok, maka dipanggilnya mas. Kalau cewek maka tentu akan dipanggilnya mbak. Tapi ada juga cowok yang dipanggilnya mbak. Banci namanya. Tapi di situ tak kulihat banci. Sudahlah.
Oh, mbaknya pelayan yang tadi ngasih kertas lagi sibuk. Maka jadi datanglah dia si pelayan yang laki-laki. Dikasihlah kertas tadi kepadanya.
“ Oh ya mas. Saya bacakan ulang pesanannya.”
“ Oke.”
“ Telur dadar dua. es teh dua. Sambal gobal -gabul satu. Sambal bawang satu. Nasi satu. Begitu mas?”
“ Iya. Nasinya satu bakul mas. Bukan satu biji.”
“ Iya mas. Terimakasih.” Tersenyumlah dia.
“ Sama-sama.” Sekarang kami membalas senyumnya. Tapi jangan pikir kami homo. Dapat senyum dari cewek tidak dibalas, sementara dapat senyum dari cowok dibalaslah senyum itu.
Berpalinglah pelayan itu dari hadapan kami. Pergilah pelayan itu ke dapur. Meracik pesanan yang kami pesan. Melihat-lihatlah aku ke sekelilingku. Ada disitu di tembok di pasang semacam poster dengan gambar menu-menu yang ada. Tentu menu yang disediakan di situ. Bukan semacam emas. Semacam besi dengan ukuran milimeter. Bukan semacam peralon. Semacam kawat. Tetapi berbagai macam sambal. Lauk dan pauk. Sayur oseng. Ayam bakar, tahu bakar, tempe bakar, tapi tidak ada di situ roti bakar. Kenapa tidak ada? Ya memang begitu kenyataannya. Sudahlah. Jangan banyak tanya. Ada juga di situ jam dinding di tembok. Ada mbak-mbak yang makan dengan keringat. Maksudnya makan nasi dan sambal sehingga kepedasan dan keluarlah keringatnya. Ada nomor layanan konsumen. Mr.huuh haah dan nomor teleponnya di pajang di situ. Ada tulisan “toilet” dengan tanda panah di bawahnya. Aku bertanya-tanya, kok arah toiletnya searah dengan arah pelayan tadi yang menuju dapur. Adakah memasaknya di dapur yang jadi satu dengan toilet? Pertanyaan bodoh. Sudahlah. Tidak aku teruskan. Nanti kalian mengira aku bodoh dan kalian suka karena aku bodoh. Tapi tak apalah aku dikira bodoh, karena memang begitulah manusia. Suka mengira-ira sesuatu yang sesungguhnya ia tidak ketahui kebenarannya.
Datanglah pelayan tadi. Mbak pelayan yang tadi. Membawa makanan dan minum-minuman yang kami pesan tadi. Telur dadar dua. es teh dua. Sambal gobal -gabul satu. Sambal bawang satu. Nasi satu. Satu bakul nasinya.
“ Ini mas pesanannya” sambil menaruh pesanan tadi di atas meja.
“ Ooh, ya mbak. Terimakasih.” Adalah mbak pelayan yang tadi. Kami sekarang yang menyenyuminya dulu.
“ Iya mas. Sama-sama. Selamat menikmati.” Dibalaslah senyum kami olehnya.
Oh, betapa mendamaikan jiwa jika kita bisa saling berbalas senyum dalam suatu keadaan yang sedang bagaimanapun pada diri kita.
“Ayo Ndong makan.”
“ Ayo. Mari. ”
Maka, makanlah kami. Makan nasi. Makan telor. Makan sambel. Dan juga minumlah kami. Minum es teh.
“ Wah, pedes Ndong. Bajigur!”
“ Iya.”
“ Besok mencret-lah kita kalau sebegini banyaknya sambel kita habiskan semua. Muleslah perut kita. ”
“hahaha. cocote!”
            Sambelnya banyak menurut kami. Tidak habislah kami. Kami lihat sambel yang kami makan tidak sebanyak sambal yang kami sisakan. Sudah habislah semua. Ya nasi. Ya telor. Tinggal sambal dan es teh. Minum-minumlah kami. Minum es teh maksudnya. Supaya hilang pedas di mulut ini. Sambil memandang-mandang sisa sambal tadi.
“ Pedes Ndong?”
“ Iya. Mana es teh-ku juga sudah habis ini.”
Pesanlah dia es teh lagi.
“ Kok sisa sambalnya lebih banyak dari pada yang kita makan ya Ndong?”
“ Lhaiya.”
“Apa tidak mubadzir ya?”
Timbulah pertanyaan bodoh lagi di otakku. Ku panggillah mbaknya pelayan tadi.
“ Mbak.” kupanggil dia.
“ Iya mas.” Mendekatlah dia kepadaku. Kepada kami. Di dekat meja kami, juga kursi kami yang kami duduki. Karena mejanya memang tidak jauh dari kursi yang kami duduki tentunya.
“ Boleh tanya?”
“ Boleh mas. Tanya apa, ya mas?”
” Ini sambelnya....” sambil aku menunjuk sisa sambel yang aku makan. Sambel yang sisanya ternyata lebih banyak dari yang aku makan tadi.
“ Mau dibungkus, mas?” potong pelayan tadi atas pertanyaan yang sebenarnya belum aku selesaikan.
“Ooh, tidak mbak.” Sambil aku tersenyum. Diapun juga tersenyum.
“ Mau tanya boleh kan, mbak?” tanyaku ulang.
“Boleh mas. Silakan” jawabnya. Terlihatlah raut mukanya yang sebenarnya mendadak penasaran atas pertanyaan apa yang sebenarnya akan aku tanyakan.
“ Sebenarnya....”
Aku tahan sejenak supaya agak bagaimana keadaannya. Sengaja aku buat begitu. Biar seru. Semacam serius tetapi tidak juga, karena aku menahan ketawa, juga si Bandong. Juga di luar yang terdengarlah suara peluit bapak dan ibu tukang parkir. Suara klakson yang bersahutan menandakan mereka yang egois di jalan karena segera dia ingin cepat sampai rumah, juga mungkin mainan klakson karena sedikit agak indah gitu untuk memcah sunyinya malam. Lapar juga mungkin mereka seperti kami sehingga main klakson buat ngilangin rasa lapar. Atau memang tidak punya uang sebanyak kami sehingga tidak berhenti dan makanlah di tempat ini bersama kami. Juga di luar angin malam yang berhembuslah. Daun-daun yang berebut oksigen dengan kami manusia-manusia malam yang sedang ke luar rumah. Lampu-lampu kota yang bersinar seperti matahari yang di malam hari yang sebenarnya aku lebih-lebihkan supaya agak terlihat leebih bagaimanapun itu.
“ Sebenarnya apa mas? ” semakin penasaran kelihatannya pelayan itu. Aku juga sambil senyum.
“ Sebenarnya saya hanya ingin tanya. Ini sisa sambel yang saya makan tadi, nanti dijadikan satu lagi sama yang di dapur, atau dibuang mbak?”
“ Ya dibuang mas.” Jawabnya yang sekarang tidak pakai senyum.
“ Beneran mbak?” saya masih penasaran.
“ Iya mas.“
“ Dosa lho mbak kalo bohong.” Sambil aku kasih sedikit senyum.
“Iya mas. Emangnya, mas mau dikasih sambel sisa orang lain?” tersenyumlah dia lagi.
“ Ya enggak. Hahahaaha.”
“ Ya udah. Mas ini tanyanya aneh-aneh saja.” Sambil beranjak mau pergi.
“ Tapi kan kalau sisa sebanyak ini dibuang, nanti mubadzir mbak. Mubadzir kan dosa mbak.”
Hanya tersenyumlah dia, lalu beranjak pergiah dia.
“ Ya udah mbak. Terimakasih.” aku kasih senyum lagi.
Masih penasaran saja aku dengan pertanyaanku ini. Si Bandong juga malah ketawa. Aku minta pendapat sama si Bandong. Bagaimana kalau aku coba tanya ke nomor tadi. Nomor layanan konsumen tadi.  Si Bandong setuju saja. Segera SMS-lah aku ke nomor tadi. Nomor Mr. Huuuh haaah yang dirinya menyebutnya dan memajangnya di papan semacam poster yang difigura dan di tempel di tembok .
Mr. huuh haah,
saya manusia yang mau tanya, sisa
sambel dari pelanggan,dibuang/
dijadikan 1 lg sm yg didapur?
Terkirimlah sms itu ke nomor Mr. Huuh haah. Aku berharap semoga sms ini dibalaslah sama Mr. huuh haah. Harap-harap cemaslah aku.
Es teh sudah habis. Juga yang sudah dipesan lagi sama si Bandong tadi. Aku ajak si Bandong pulang. Tapi sebelum pulang, aku ajak dia menuju ke kasir. Membayarlah kami. Ada mbak-mbak pelayan tadi yang ternyata menceritakan pertanyaanku ke kasirnya. Tertawalah mereka. Menganggaplah aku gila mungkin mereka, atas pertanyaanku tadi. Biarlah. Ini hanya rasa ingin tahuku saja. juga sebagai pemuas rasa penasaranku saja. Bagaimana jika memang sisa sambal tadi dijadikan satu lagi dengan yang di dapur, dan di hidangkan lagi kepada kami. Dari pada penasaran yang tak kunjung hilang, maka tanyalah aku. Tapi inilah yang mungkin tidak terpikrikan oleh banyak orang. Yang spele. Tentang sebuah bisnis. Dunia bisnis. Yang tujuannya adalah profit oriented. Tahu apa itu profit oriented? Semoga tahu. Kalau tidak tahu ya sudah. Jangan suruh aku bercerita lagi. Nanti aku lapar lagi.aku ngantuk sekarang. Sudah kenyang. Mau pulang. Ke kos. Sambil menunggu sms tadi di balas oleh Mr.huuh haah.
Yeeeeeeeeeeesss, dibalaslah sms tadi.
Terimakasih sebelumnya, kami
Infokan bahwa standar prosedur
Si semua Cabang Waroeng SS di
Semua kota adalah sisa menu dr
pelanggan dibuang boss...terima
kasih.
Tapi aku masih belum puas. Masih saja tetap merasa penasaran karena sms tadi sudah aku balas lagi. Sms yang aku maksudkan sebagai saran untuknya.
Apa nggak dimaksimalkan saja
Mr, Kan sisa sambalnya biasanya
lebih banyak dr pd yg dimakan
sama pelanggan?kan mubadzir
juga Mr.
Tapi tidak dibalas lagi. Ya sudahlah. Semoga tidak bohong. Aku tiduuur......

 
Jogjakarta, 27 Oktober  2011 lalu yang turun hujan sesaat di sebagian malam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar